Ketika
pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tahun lalu mematok 6,5 persen, banyak
yang terkesima. Di tengah korupsi merajalela, manipulasi anggaran, hingga
perampokan proyek pembangunan, ekonomi tetap menggeliat. Setidaknya, terdapat
tiga perspektif berbeda menyikapinya.
Pertama,
bagi pemerintah, ini sebuah prestasi luar biasa. Karena,
sebelumnya, tingkat pertumbuhan diprediksi hanya 4,5 persen, artinya, kebijakan
ekonomi yang dilakukan selama ini sudah “on the track”.
Kedua,
bagi kelompok “idealis” dan anti korupsi, menatap lebih ke atas.
Bahwa, seandainya korupsi bisa ditekan, anggaran diperketat, dan para
“carnivora” serta “omnivora” proyek, bisa dibasmi, pertumbuhan seharusnya
bertengger 7,5 hingga 8 persen.
Ketiga,
para koruptor punya “logika” ekonominya sendiri. Menurut kalkulasi
“otak buram” mereka, ekonomi Indonesia seharusnya hanya tumbuh di kisaran 4
hingga 4,5 persen. Tetapi, mengapa bisa menyeruak hingga 6,5 persen karena
hasil sebuah “kesepakatan korupsi”.
Para
“bajak” ini, memakai logika ekonomi rational choice dalam sistem
insentif. Bahwa, seseorang akan bekerja keras karena ada insentif yang
diperoleh, dan insentif itu “masuk akal”. Sebuah proyek korup, sejak
direncanakan hingga ditender, melahirkan insentif yang bergulir dan “melenting”
berkali-kali sebagai sebuah multiplier effect dan trickledown effect,
sehingga banyak orang kecipratan.
Sebaliknya,
ketika proyek itu “bersih” dan sangat “ketat”, motivasi menurun, karena nihil
insentif. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan melemah. Begitu, alur pikir,
lorong gelap batok kepala para koruptor.
Mungkin
saja, logika mereka menemukan kebenarannya. Tapi, di sini soalnya. Pertumbuhan
ekonomi, seharusnya terbangun dalam sebuah sistem ekonomi yang riil, bukan
“erzat” atau semu, kata Yosihara Kunio, dalam The Erzat Capitalism. Pertumbuhan
rill, terbangun dari kekuatan supply dan demand, pada sebuah
“arena” ekonomi yang terjamin aturan mainnya secara transparan. Informasi yang
jelas dan benar. Bukan transaksi di lorong-lorong “kegelapan”, menelikung hukum
secara serampangan. Seolah-olah bermaksud membangun kesejahteraan rakyat,
tetapi, ketika “kulit pepesan” terbuka, tak lebih dari tulang dan daging busuk
rente-rente ekonomi.
Maka
sesungguhnya, pembangunan bukan terbangun dari sebuah kejelasan visi dan misi
untuk kesejahteraan rakyat masa depan. Tetapi, penimbunan “ransum” untuk
digunakan pada berbagai portofolio: hari tua, transaksi, pilkada, dan
sebagainya. Akibatnya, berbagai kebijakan pembangunan, seringkali menjadi
aneh-aneh. Menelikung proyek agar terlihat layat atau bahkan “memperkosa
logika” dan akal sehat. Hingga, kalau perlu, menabrak hukum dan aturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar