Jumat, 07 September 2012

Pepesan Ekonomi


Ketika pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tahun lalu mematok 6,5 persen, banyak yang terkesima. Di tengah korupsi merajalela, manipulasi anggaran, hingga perampokan proyek pembangunan, ekonomi tetap menggeliat. Setidaknya, terdapat tiga perspektif berbeda menyikapinya.
Pertama, bagi pemerintah, ini sebuah prestasi luar biasa. Karena, sebelumnya, tingkat pertumbuhan diprediksi hanya 4,5 persen, artinya, kebijakan ekonomi yang dilakukan selama ini sudah “on the track”.
Kedua, bagi kelompok “idealis” dan anti korupsi, menatap lebih ke atas. Bahwa, seandainya korupsi bisa ditekan, anggaran diperketat, dan para “carnivora” serta “omnivora” proyek, bisa dibasmi, pertumbuhan seharusnya bertengger 7,5 hingga 8 persen.
Ketiga, para koruptor punya “logika” ekonominya sendiri. Menurut kalkulasi “otak buram” mereka, ekonomi Indonesia seharusnya hanya tumbuh di kisaran 4 hingga 4,5 persen. Tetapi, mengapa bisa menyeruak hingga 6,5 persen karena hasil sebuah “kesepakatan korupsi”.
Para “bajak” ini, memakai logika ekonomi rational choice dalam sistem insentif. Bahwa, seseorang akan bekerja keras karena ada insentif yang diperoleh, dan insentif itu “masuk akal”. Sebuah proyek korup, sejak direncanakan hingga ditender, melahirkan insentif yang bergulir dan “melenting” berkali-kali sebagai sebuah multiplier effect dan trickledown effect, sehingga banyak orang kecipratan.
Sebaliknya, ketika proyek itu “bersih” dan sangat “ketat”, motivasi menurun, karena nihil insentif. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan melemah. Begitu, alur pikir, lorong gelap batok kepala para koruptor.
Mungkin saja, logika mereka menemukan kebenarannya. Tapi, di sini soalnya. Pertumbuhan ekonomi, seharusnya terbangun dalam sebuah sistem ekonomi yang riil, bukan “erzat” atau semu, kata Yosihara Kunio, dalam The Erzat Capitalism. Pertumbuhan rill, terbangun dari kekuatan supply dan demand, pada sebuah “arena” ekonomi yang terjamin aturan mainnya secara transparan. Informasi yang jelas dan benar. Bukan transaksi di lorong-lorong “kegelapan”, menelikung hukum secara serampangan. Seolah-olah bermaksud membangun kesejahteraan rakyat, tetapi, ketika “kulit pepesan” terbuka, tak lebih dari tulang dan daging busuk rente-rente ekonomi.
Maka sesungguhnya, pembangunan bukan terbangun dari sebuah kejelasan visi dan misi untuk kesejahteraan rakyat masa depan. Tetapi, penimbunan “ransum” untuk digunakan pada berbagai portofolio: hari tua, transaksi, pilkada, dan sebagainya. Akibatnya, berbagai kebijakan pembangunan, seringkali menjadi aneh-aneh. Menelikung proyek agar terlihat layat atau bahkan “memperkosa logika” dan akal sehat. Hingga, kalau perlu, menabrak hukum dan aturan.

Tidak ada komentar: