Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai kapan
pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan
sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang
dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul
diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta
memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda
Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah
untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena
pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai
prioritas terpenting, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi
sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun
non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan
bukan pendidikan yang super canggih.
Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO,
proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat)
pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to
do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk
menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk
menjalani kehidupan bersama).
Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang
seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia
pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”,
sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan,
Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.
Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut,
C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang
pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa
dibeli dengan uang; dan kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya,
penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan
dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian
Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu
negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap
kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.
Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu
membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan
yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini
sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana
yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah
11% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah
terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara
jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional
obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini,
baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI
dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran
bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu
mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005
dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak
asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai
pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan
Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial
Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara
dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa
pun.
Alhasil,
pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran
pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006
dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak
sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan
tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober
2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya
menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend
recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.
Putusan
tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional
interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi,
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”,
maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara
wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas
dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20%) dari APBN serta dari APBD.
Belum lagi jika
kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh
Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006
menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005
berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN.
Adapun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut :
- Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan Iemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Bahkan
terkait dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007, Pemerintah dan DPR telah
mensahkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mendatang hanya sebesar
10,3 %. Masihlah teramat jauh dari angka 20% yang telah diamanahkan oleh
konstitusi. Oleh karena itu, jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini
adalah suatu bentuk tindak kesengajaan dan sekaligus pengingkaran kesepakatan
antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.
Dengan
kata lain, jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung
berubah, maka pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kembali pelanggaran
konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi
yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan
terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini
berkuasa.
Berbagai
kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya
pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya
disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional
failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam
konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan
terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta
berbagai subsidi.
Hingga
saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka
persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali”
suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan
sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan
pembenar (rechtsvaardigingsgrond).
Sudah
seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara
sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam
mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama
melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD
1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut
merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal
tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana
Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government,
but the people constituing a government”.
Konsekuensinya,
selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk
lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian
rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek
dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun
mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian,
pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang
sebenarnya jauh lebih mahal harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar