Minggu, 19 Agustus 2012

Pendidikan sebagai Investasi masa Panjang


Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih.
Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.
Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.
Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.
Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.
Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20%) dari APBN serta dari APBD.
Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Adapun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut :
  1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan Iemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.
Bahkan terkait dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007, Pemerintah dan DPR telah mensahkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mendatang hanya sebesar 10,3 %. Masihlah teramat jauh dari angka 20% yang telah diamanahkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak kesengajaan dan sekaligus pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.
Dengan kata lain, jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kembali pelanggaran konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini berkuasa.
Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.
Hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).
Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”.
Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.

Tidak ada komentar: