Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka
mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak
langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri.
Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan
Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut
setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat dua indikator sekaligus, yaitu
indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan
indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human
Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177
negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru
sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997
HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun
2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia
menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada
peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan
ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM
Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya
kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa
sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang
top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara
dalam hal anggaran pendidikan, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal
pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah
India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya
menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan
nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase
anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang
terendah, termasuk apabila dibandingkan dengan Srilanka sebagai salah satu
negara yang terbelakang.
Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery
dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan
anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak
sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak
bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan
semua yang ditampakkan padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar