Jumat, 24 Agustus 2012

IJTIHAD KONTEMPORER DALAM SOROTAN


Ijtihad merupakan istilah yang sudah cukup popular di kalangan umat Islam, khususnya dalam pengkajian hokum Islam. Ijtihad selama ini dipahami sebagai media untuk melakukan pembaruan-pembaruan terhadap hokum Islam agar bias disesuaikan dengan perkembangan.
      Seperti diketahui, kegiatan ijtihad telah diperkenalkan oleh nabi pada masa awal pembinaan hukum Islam, meski dalam bentuk yang masih sederhana. Isyarat-isyarat dari ijtihad nabi itulah yang mengilhami kesungguhan para sahabat maupun generasi setelahnya, sehingga mereka bias menyemarakkan perkembangan fikih Islam. Selanjutnya perkembangan ijtihad mencapai puncaknya pada periode tabi’ al-tabi’in, saat dimana umat Islam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Namun setelah lewatnya masa keemasan tersebut, terjadilah masa kemunduran yang antara lain ditandai dengan kebekuan ijtihad yang popular dengan istilah tertutupnya pintu ijtihad.
      Mencermati sejarah yang ada, tampak bahwa upaya ijtihad telah mewarnai perjalanan fikih Islam sejak dari masa awal pembentukannya. Hal ini mengindikasikan pentingnya keberadaan ijtihad tersebut. Gambaran historis ini bias menjadi patokan untuk melihat bagaimana posisi ijtihad dalam konteks masa kini yang kian marak diwarnai perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan. Dengan kondisi tersebut, keberadaan ijtihad pada masa kini kian menjadi sebuah kebutuhan. Namun ironisnya, ijtihad justru menjadi semacam barang langka di masa sekarang.
      Di lain sisi, meski sebagian umat Islam mengakui pentingnya ijtihad tersebut, namun ada juga kalangan tertentu yang cenderung tertutup terhadap kemungkinan diadakannya perubahan-perubahan di dalam hukum Islam. Bagi kalangan ini, segala ketentuan Islam telah tuntas dalam Al-Qur’an, tidak perlu lagi ada upaya-upaya penggalian karena semuanya telah terakomodir dalam Al-Qur’an. Terlebih jika hal tersebut disebutkan secara tegas oleh Al-Qur’an (qath’iy).
      Perdebatan tentang hal ini bukan hanya terjadi pada masa sekarang ini. Dalam sejarah, perdebatan tersebut telah terjadi pada masa awal Islam, yaitu adanya polemik antara Umar bin Khattab dengan Bilal bin Rabah mengenai harta rampasan perang berupa tanah. Bilal yang mengutip secara harfiah ayat Al-Qur’an (Q.S.8 : 41) bertegas bahwa tanah itu harus diserahkan kepada para prajurit. Sementara itu, Umar bin Khattab, yang didukung Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa tanah itu sebaiknya diserahkan kepada petani yang ahli dalam bertani yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Negara di mana para prajurit nanti akan mendapatkannya juga. Alasannya demi kemashlahatan umat Islam, yaitu untuk kesejahteraan bersama. Jika diberikan kepada prajurit, akan terjadi ketimpangan ekonomi. Umar pun kemudia mendapat tantangan keras dari Bilal bin Rabah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin Awwam yang menuduhnya telah meninggalkan ayat qath’iy dalam kitab Allah. Saking kerasnya penentangan Bilal tersebut, membuat Umar bin Khattab dengan dada yang sesak dan sedih berdoa: “Ya Allah, lindungilah akau dari Bilal dan kawan-kawannya. Dalam kasus ini, Umar memahami ayat Al-Qur’an secara kontekstual dengan mencari substansi di balik teks dan melihat pesan utama Al-Qur’an seperti keadilan ekonomi. Sementara Bilal memahami ayat secara harfiah.
      Demikianlah gambaran tentang keterbelahan umat Islam dalam menyikapi kebolehan melakukan ijtihad yang ternyata telah dimulai pada masa-masa awal Islam. Bahkan, di kalangan ulama yang setujupun, salaf maupun khalaf, tetap terjadi perbedaan pemikiran-pemikiran, baik mengenai metode maupun batasan ijtihad tersebut. Sebagian cenderung membatasi pada bidang-bidang tertentu saja, sementara sebagian yang lain lebih terbuka bahkan memandang semua lapangan hukum Islam bisa dimasuki proyek ijtihad. Sepertinya hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pemikiran serta kondisi social yang dihadapi masing-masing.
      Demikian halnya di Indonesia. Masalah ijtihad mendapat perhatian yang luas di kalangan ahli-ahli hukum Islam. Terlebih bagi kalangan pembaru hukum Islam, ijtihad mendapat sorotan penuh, karena dinilai sebagai media dalam melakukan pembaruan hukum Islam untuk disesuaikan dengan konteks kekinian dan kesinian.
      Terkait denga hal ini, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Antara lain, bagaimana pakar-pakar hukum Islam Indonesia menyorot ijtihad tersebut dan yang paling penting bagaimana wujud ijtihad yang telah terealisasi di Indonesia.
     

Tidak ada komentar: