Ijtihad merupakan istilah yang sudah
cukup popular di kalangan umat Islam, khususnya dalam pengkajian hokum Islam.
Ijtihad selama ini dipahami sebagai media untuk melakukan pembaruan-pembaruan
terhadap hokum Islam agar bias disesuaikan dengan perkembangan.
Seperti diketahui,
kegiatan ijtihad telah diperkenalkan oleh nabi pada masa awal pembinaan hukum
Islam, meski dalam bentuk yang masih sederhana. Isyarat-isyarat dari ijtihad
nabi itulah yang mengilhami kesungguhan para sahabat maupun generasi
setelahnya, sehingga mereka bias menyemarakkan perkembangan fikih Islam.
Selanjutnya perkembangan ijtihad mencapai puncaknya pada periode tabi’
al-tabi’in, saat dimana umat Islam mencapai kemajuan di berbagai bidang
kehidupan. Namun setelah lewatnya masa keemasan tersebut, terjadilah masa
kemunduran yang antara lain ditandai dengan kebekuan ijtihad yang popular
dengan istilah tertutupnya pintu ijtihad.
Mencermati sejarah yang
ada, tampak bahwa upaya ijtihad telah mewarnai perjalanan fikih Islam sejak
dari masa awal pembentukannya. Hal ini mengindikasikan pentingnya keberadaan
ijtihad tersebut. Gambaran historis ini bias menjadi patokan untuk melihat
bagaimana posisi ijtihad dalam konteks masa kini yang kian marak diwarnai
perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan. Dengan kondisi tersebut,
keberadaan ijtihad pada masa kini kian menjadi sebuah kebutuhan. Namun
ironisnya, ijtihad justru menjadi semacam barang langka di masa sekarang.
Di lain sisi, meski
sebagian umat Islam mengakui pentingnya ijtihad tersebut, namun ada juga
kalangan tertentu yang cenderung tertutup terhadap kemungkinan diadakannya
perubahan-perubahan di dalam hukum Islam. Bagi kalangan ini, segala ketentuan
Islam telah tuntas dalam Al-Qur’an, tidak perlu lagi ada upaya-upaya penggalian
karena semuanya telah terakomodir dalam Al-Qur’an. Terlebih jika hal tersebut
disebutkan secara tegas oleh Al-Qur’an (qath’iy).
Perdebatan tentang hal
ini bukan hanya terjadi pada masa sekarang ini. Dalam sejarah, perdebatan
tersebut telah terjadi pada masa awal Islam, yaitu adanya polemik antara Umar
bin Khattab dengan Bilal bin Rabah mengenai harta rampasan perang berupa tanah.
Bilal yang mengutip secara harfiah ayat Al-Qur’an (Q.S.8 : 41) bertegas bahwa
tanah itu harus diserahkan kepada para prajurit. Sementara itu, Umar bin
Khattab, yang didukung Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa
tanah itu sebaiknya diserahkan kepada petani yang ahli dalam bertani yang sebagian
besar hasilnya diserahkan kepada Negara di mana para prajurit nanti akan
mendapatkannya juga. Alasannya demi kemashlahatan umat Islam, yaitu untuk
kesejahteraan bersama. Jika diberikan kepada prajurit, akan terjadi ketimpangan
ekonomi. Umar pun kemudia mendapat tantangan keras dari Bilal bin Rabah,
Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin Awwam yang menuduhnya telah meninggalkan
ayat qath’iy dalam kitab Allah. Saking kerasnya penentangan Bilal
tersebut, membuat Umar bin Khattab dengan dada yang sesak dan sedih berdoa: “Ya
Allah, lindungilah akau dari Bilal dan kawan-kawannya. Dalam kasus ini, Umar
memahami ayat Al-Qur’an secara kontekstual dengan mencari substansi di balik
teks dan melihat pesan utama Al-Qur’an seperti keadilan ekonomi. Sementara
Bilal memahami ayat secara harfiah.
Demikianlah gambaran
tentang keterbelahan umat Islam dalam menyikapi kebolehan melakukan ijtihad
yang ternyata telah dimulai pada masa-masa awal Islam. Bahkan, di kalangan
ulama yang setujupun, salaf maupun khalaf, tetap terjadi perbedaan
pemikiran-pemikiran, baik mengenai metode maupun batasan ijtihad tersebut.
Sebagian cenderung membatasi pada bidang-bidang tertentu saja, sementara
sebagian yang lain lebih terbuka bahkan memandang semua lapangan hukum Islam
bisa dimasuki proyek ijtihad. Sepertinya hal tersebut dipengaruhi oleh latar
belakang pemikiran serta kondisi social yang dihadapi masing-masing.
Demikian halnya di
Indonesia. Masalah ijtihad mendapat perhatian yang luas di kalangan ahli-ahli
hukum Islam. Terlebih bagi kalangan pembaru hukum Islam, ijtihad mendapat
sorotan penuh, karena dinilai sebagai media dalam melakukan pembaruan hukum
Islam untuk disesuaikan dengan konteks kekinian dan kesinian.
Terkait denga hal ini,
ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Antara lain, bagaimana
pakar-pakar hukum Islam Indonesia menyorot ijtihad tersebut dan yang paling
penting bagaimana wujud ijtihad yang telah terealisasi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar