Minggu, 26 Agustus 2012

Happynomics


 Apa ukuran kemjuan ekonomi: kesejahteraan  atau kebahagiaan? Tentu saja, itu dua hal yang beda. Kesejahteraan, kata Vilvredo Pareto, jika alokasi sumber daya, menyebabkan ekonomi masyarakat atau individu meningkat, tanpa membuat orang lain modar. Kalau, anda meroket kaya tetapi tetangga anjlok miskin, berarti, “kesejahteraan” belum optimum (pareto Optimality). Menurut Kaldor dan Hicks, jika perubahan membawa keuntungan, di sisi lain keuntungan itu, mengimbangi kerugian pada orang lain, itu sejahtera.
            Tetapi, apakah negara sejahtera, yang diukur dari tingkat PDB, pertumbuhan, kesempatan kerja, kemiskinan, berarti masyarakatnya bahagia? Belum tentu. Ukuran ekonomi seharusnya tidak hanya mengukur kesejahteraan materil tetapi juga sejauh mana masyarakat bahagia. Kerajaan Bhutan, sejak 1970, mengukur kemajuan ekonominya juga dengan Gross National Happiness, selain Gross Domestic Product.
            Happynomics, ekonomi kebahagiaan, dikembangkan oleh Richard Layard, ekonomi Inggris. Didasari temuan ahli, bahwa sarah manusia telah dapat diidentifikasi, bagian yang paling terstimuli oleh kebahagiaan. Disimpulkan, walaupun kebahagiaan seseorang semakin meningkat ketika berubah dari miskin menjadi kaya tetapi tingkat kepuasannya semakin turun, ketika semakin menjauh dari hidup papa. Artinya, berlaku hukum The Lawof Diminishing Return atas kebahagiaan, yaitu setiap tambahan “kesejahteraan” ekonomi, semakin menurunkan “nilai” kebahagiaan. Oleh Richard Easterlin, peneliti lain, gejala itu, dinamakannya siklus hedonis.
            Hedonisme, filsafat kesenangan. Ketika “kesenangan kekayaan” diraih, maka kita akan terbiasa dengan kondisi itu. Selanjutnya, kepuasan tidak lagi diukur atas “banyaknya harta kita” tetapi mengacu pada “kekayaan orang lain”. Ketika tetangga lebih “wah”, rasa puas kita akan anjlok. Dan bahagia pun berangsut menjauh.
            Sebuah lembaga independen, New Economics Foundation, telah merancang sebuah indeks kebahagiaan, yaitu Happy Planet Index. Sebuah kombinasi ukuran kepuasan hidup suatu negara, usia harapan hidup, area ekologi per kapita. Hasilnya, tahun 2006, Pacific Island of Vanuatu, negara paling bahagia, disusul, Colombia dan Kosta Rika. Yang paling “sengsara” hidupnya, masih di sekitaran Afrika: Burundi, Swaziland, Zimbabwe. Anehnya, negara kaya, seperti AS, berada di bawah rata-rata “bahagia”. Walau tidak dijelaskan, Indonesia berada berada di mana? Tetapi kalau Cuma menilik film sinetron di TV, sepertinya indonesia “paling bahagia” karena apa pun genre filmnya, dipastikan sarat dengan adegan tertawa.
            Ilmu ekonomi kebahagiaan, semakin banyak dikaji di dunia dan memengaruhi berbagai kebijakan sebuah negara. Misalnya saja, pengenaan pajak yang lebih tinggi bagi orang kaya akan membuat masyarakat bahagia karena akan mengurangi kecemburuan sosial. Pemberantasan korupsi dan birokrasi lancar akan meningkatkan kabahagiaan masyarakat yang berdampak pada terbangunnya kepercayaan pada pemerintah. Hingga perencanaan pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata mengukur keberhasilan dari banyaknya ruko, mal, industri tetapi masyarakatnya tidak bahagia karena macet di jalan atau hanya jadi penonton “karcis terusan” atas pementasan opera ekonomi kesejahteraan klasik.

Tidak ada komentar: