Apa ukuran
kemjuan ekonomi: kesejahteraan atau
kebahagiaan? Tentu saja, itu dua hal yang beda. Kesejahteraan, kata Vilvredo
Pareto, jika alokasi sumber daya, menyebabkan ekonomi masyarakat atau individu
meningkat, tanpa membuat orang lain modar. Kalau, anda meroket kaya tetapi tetangga
anjlok miskin, berarti, “kesejahteraan” belum optimum (pareto Optimality).
Menurut Kaldor dan Hicks, jika perubahan membawa keuntungan, di sisi lain
keuntungan itu, mengimbangi kerugian pada orang lain, itu sejahtera.
Tetapi, apakah
negara sejahtera, yang diukur dari tingkat PDB, pertumbuhan, kesempatan kerja,
kemiskinan, berarti masyarakatnya bahagia? Belum tentu. Ukuran ekonomi
seharusnya tidak hanya mengukur kesejahteraan materil tetapi juga sejauh mana
masyarakat bahagia. Kerajaan Bhutan, sejak 1970, mengukur kemajuan ekonominya
juga dengan Gross National Happiness, selain Gross Domestic Product.
Happynomics,
ekonomi kebahagiaan, dikembangkan oleh Richard Layard, ekonomi Inggris.
Didasari temuan ahli, bahwa sarah manusia telah dapat diidentifikasi, bagian
yang paling terstimuli oleh kebahagiaan. Disimpulkan, walaupun kebahagiaan
seseorang semakin meningkat ketika berubah dari miskin menjadi kaya tetapi
tingkat kepuasannya semakin turun, ketika semakin menjauh dari hidup papa.
Artinya, berlaku hukum The Lawof Diminishing Return atas kebahagiaan,
yaitu setiap tambahan “kesejahteraan” ekonomi, semakin menurunkan “nilai”
kebahagiaan. Oleh Richard Easterlin, peneliti lain, gejala itu, dinamakannya siklus
hedonis.
Hedonisme,
filsafat kesenangan. Ketika “kesenangan kekayaan” diraih, maka kita akan
terbiasa dengan kondisi itu. Selanjutnya, kepuasan tidak lagi diukur atas
“banyaknya harta kita” tetapi mengacu pada “kekayaan orang lain”. Ketika
tetangga lebih “wah”, rasa puas kita akan anjlok. Dan bahagia pun berangsut
menjauh.
Sebuah lembaga
independen, New Economics Foundation, telah merancang sebuah indeks
kebahagiaan, yaitu Happy Planet Index. Sebuah kombinasi ukuran kepuasan
hidup suatu negara, usia harapan hidup, area ekologi per kapita. Hasilnya,
tahun 2006, Pacific Island of Vanuatu, negara paling bahagia, disusul, Colombia
dan Kosta Rika. Yang paling “sengsara” hidupnya, masih di sekitaran Afrika:
Burundi, Swaziland, Zimbabwe. Anehnya, negara kaya, seperti AS, berada di bawah
rata-rata “bahagia”. Walau tidak dijelaskan, Indonesia berada berada di mana?
Tetapi kalau Cuma menilik film sinetron di TV, sepertinya indonesia “paling
bahagia” karena apa pun genre filmnya, dipastikan sarat dengan adegan tertawa.
Ilmu ekonomi
kebahagiaan, semakin banyak dikaji di dunia dan memengaruhi berbagai kebijakan
sebuah negara. Misalnya saja, pengenaan pajak yang lebih tinggi bagi orang kaya
akan membuat masyarakat bahagia karena akan mengurangi kecemburuan sosial.
Pemberantasan korupsi dan birokrasi lancar akan meningkatkan kabahagiaan
masyarakat yang berdampak pada terbangunnya kepercayaan pada pemerintah. Hingga
perencanaan pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata mengukur keberhasilan
dari banyaknya ruko, mal, industri tetapi masyarakatnya tidak bahagia karena
macet di jalan atau hanya jadi penonton “karcis terusan” atas pementasan opera
ekonomi kesejahteraan klasik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar