Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun
Musyrik, dapat dibagi atas dua keadaan. Pertama, perjawinan itu terjadi
diantara mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Darul Islam. Kedua,
perkawinan itu terjadi di negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum
Muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum Muslimin tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengaturnya.
Perkawinan
yang terjadi di antara mereka dalam dua keadaan tersebut mungkin sesuai dengan
syarat dan rukun akad pernikahan Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan
perkawinan mereka sesuai dengan perkawinan Islam, maka perkawinan mereka itu
sah dalam pandangan Islam.
Bila
berbeda dengan persyaratan perkawinan Islam, ada beberapa kemungkinan.
Seseorang laki-laki haram menikahi mahramnya, seperti ibu, anak, saudara
perempuannya, menikahi perempuan dalam iddah, atau masih punya istri empat lalu
kawin dengan perempuan lain. Mungkin juga perkawinannya itu tanpa saksi atau
wali, atau nikah dengan wanita yang sudah ia jatuhi talak tiga tanpa muhallil,
atau berbeda dalam segi lainnya.
Bila
terjadi akad nikah yang menyalahi persyaratan nikah Islam dan hal itu terjadi
di Darul Islam, pernikahan itu dibiarkan dan tidak dipersoalkan, asalkan
terpenuhi tiga syarat. Satu, hal itu dibolehkan dalam agama mereka. Dua, tidak
diajukan kepada (pengadilan) Islam. Tiga, salah satu atau kedua suami istri
tidak termasuk Islam.
Jika
diajukan kepada (pengadilan) Islam atau salah satu atau keduanya masuk Islam,
ada beberapa kemungkinan. Bila laki-laki kafir nikah dengan mahramnya, memadu
dua wanita bersaudara, nikah dengan wanita kelima, atau nikah dengan wanita
dalam iddah, maka harus dilakukan perceraian. Apabila menyalahi
pernikahan Islam dari segi selain itu hubungan perkawinan dapat berlanjut.
Dalam hal terakhir ini terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat
pernikahan mereka sah, ada yang berpendapat tidak sah.
Apabila
keduanya masuk Islam, ada beberapa kemungkinan. Bila keduanya masuk Islam dan
perkawinan mereka tidak menyalahi persyaratan perkawinan Islam, perkawinan mereka
terus berlangsung. Bila menyalahi larangan perkawinan Islam, seperti kawin
dengan wanita bersaudara, salah satu harus dicerai.
Dalam
hadis dari Ibnu Abbas dinyatakan, Nabi mengembalikan putrinya, Zainab, kepada
suaminya, Abi al-Qas, yang masuk Islam belakangan dari Zainab, tanpa nikah dan
mahar baru.
Dalam
hadis dari Al-Dahak disebutkan, terhadap seseorang yang masuk Islam dan ia
mempunyai dua istri bersaudara Nabi menyuruh menceraikan salah satu di antara
keduanya.
Dalam
Hadis dari Salim disebutkan, Gailan bin Samalah yang masuk Islam bersama
sepuluh seorang isterinya, Nabi menyuruhya untuk memilih empat orang isterinya,
dan yang lain harus diceraikan.
Bila
salah satu masuk Islam, juga ada beberapa kemungkinan. Jika istri masuk Islam,
suami tidak, harus fasakh. Ulama sepakat bahwa bila istri masuk Islam dan
suaminya tidak mau menjadi Muslim, keduanya harus diceraikan.
Jika suami masuk Islam, istrinya
tetap musyrik, wajib diceraikan. Bila istrinya Ahlul Kitab, suaminya masuk
Islam, perkawinan tetap berlangsung bagi yang berpendapat kawin dengan wanita
Ahlul Kitab boleh. Yang menyamakan wanita Ahlul Kitab dengan wanita Musyrik,
mewajibkan cerai.